Perihal Pindah dan Meninggalkan

el.
8 min readFeb 9, 2023

--

“Most of the time when we think we’re looking for death, we’re really looking for love.”
David Levithan.

Memangnya mau pindah ke tempat yang seperti apa?

Selagi membuat bulatan dari adonan tepung dan daging giling, Keandro Reksa sesekali melirik ke arah koper yang berjejer tidak jauh darinya. Siang ini dia perlu meninggalkan Surabaya. Malam harinya, dia akan meninggalkan rumah dinas yang sementara Eyang serahkan kepadanya sebagai fasilitas penunjang selama melanjutkan pendidikan di kota orang sejak tahun pertama. Ini aneh, batinnya. Siap atau tidak siap, suka atau tidak suka, diinginkan atau atas dasar paksaan, kepergian selalu jadi persoalan berat baginya.

Setiap mengemas barang-barang yang hendak dibawa pergi bersamanya, Kean seakan tengah memilah mana kiranya kenangan yang harus ikut dan mana yang perlu tinggal. Lalu, ketika dia membongkar isinya, dia seakan disergap oleh berbagai ingatan yang menarik dirinya ke masa beberapa tahun lampau. Kean tidak menyukai sensasi itu. Sederhananya, Kean kurang suka merindukan sesuatu dan rumah dinas milik Eyang, baik dari segi tata ruangnya, aromanya dan orang-orang yang Eyang pekerjakan di dalamnya — semua itu membuat perasaan asing dalam diri Kean membuncah. Dia ingin pindah ke tempat baru. Tempat yang dapat mempengaruhinya agar segera lupa. Tempat di mana segala kemungkinan yang terkesan mustahil dapat terjadi. Begitulah kiranya.

Kean telah mencapai bulatan ketiga puluh tujuh ketika terdengar guliran roda yang diakhiri dengan hantaman antara koper satu dan lainnya. “We need to go, like, in hours dan Koko malah bikin bakso? Jam lima pagi pula. Cek aneh e arek iki.” Ale, laki-laki yang berusia dua tahun di bawahnya, melempar badan pada salah satu kursi dengan tinggi sandaran melebihi puncak kepala, duduk di hadapannya, menopang dagu menggunakan telapak tangan sambil memandanginya.

Gerutuan itu dibalasnya lewat senyuman hangat. Sembari menggasak tangannya yang penuh tepung pada celemek coklat tua, Kean menjelaskan bahwa setidaknya dia masih memiliki waktu untuk menyiapkan sarapan sekaligus meningkatkan kemampuan memasaknya. Sudah berjalan tiga tahun sejak pertama kali Kean merasa digelitik oleh dorongan kuat perihal menyajikan makanan baik untuk dirinya maupun orang lain. Menurut Kean, menyuguhkan hidangan hasil buatan tangan sendiri itu seperti berbagi cinta sebab terkadang tidak semua orang lapar semata-mata karena kekurangan makanan. Entahlah. Dia memang selalu punya pandangan lembut terhadap kebanyakan hal. Kalau sudah begitu, Ale tidak bisa berkutik.

“Dek Ale sendiri kenapa jam segini udah bangun?” Kean mendorong kursi menggunakan bagian belakang kakinya, berjalan menuju kabinet dapur, meraih beberapa bumbu pelengkap.

“Nggak bisa tidur.”

“Koko boleh tanya?” tanyanya, kemudian menoleh untuk melihat respon Ale. Setelah mendapat persetujuan berupa deheman singkat, Kean melanjutkan, “Kamu yakin mau ikut Koko? Bentar lagi udah mau pekan orientasi, loh. Dek Ale kan belum pernah pergi jauh terlalu lama dari rumah. Toh, kalau berubah pikiran, nanti bisa minta tolong Eyang buat urus daftar ulang di kampus dekat-dekat sini. Kalau nggak cocok di Surabaya, kamu juga bisa ambil beasiswa di Aussie. Sebagian besar keluarga kita tinggal di sana, jadi Koko, Eyang dan Oma nggak akan khawatir,” ceramahnya.

Bukan merupakan rahasia bahwa Alengga Otto Candela telah menyandang gelar sebagai ‘orang dengan mulut paling jujur’ di seantero kota. Jika seseorang menanyakan sesuatu, Ale bakal menatap orang itu lekat-lekat dan menjawab apa pun itu dengan lugas sebagaimana mestinya. Baginya, mengulur kalimat sambil memilah kata-kata baik untuk diucapkan itu buang-buang tenaga. Sama seperti apa yang jadi prinsip dan kebiasaannya, dia menanggapi, “It’s my final desicion. Meskipun udah dua tahun you tinggal di luar Surabaya, I know that you’re having such a hard time to fit in. I cuma mau mastikno kalau you hidup dengan baik. It is never been a problem tentang di mana I kuliah. That thing doesn’t even matter to me.”

Ada sesuatu tentang Kean yang selalu mengusik ketenangan Ale. Dia tidak akan menjabarkan detailnya secara gamblang. Sewaktu sang kakak berjalan-jalan lincah dan bersenandung selagi memasak, Ale menelengkan kepala sambil bertanya-tanya, berapa lama kiranya sosok di hadapannya mendambahan aksi pindahan itu. Berapa lama kiranya dia menunggu sampai mampu mengambil keputusan untuk meninggalkan rumah dinas Eyang dan segala sesuatu di dalamnya tanpa setitik pun keraguan. Mata Ale terus mengikuti gerak-gerik Kean dan dalam rentang waktu itu pula belasan tanda tanya tak kasat mata berkeliaran di kepalanya.

Kalau begitu, memangnya kenapa harus meninggalkan?

Menurut Leonathan, jawabannya sangat sederhana. Seiring tumbuh dewasa, lamat-lamat dia mengetahui fakta tentang ternyata banyak orang di sekitarnya yang membenci orang tua mereka. Alasannya terbilang acak dan beragam. Leo sempat mengenal anak di kelas delapan yang sering dipukuli selama berada di rumah. Menginjak usianya yang ketujuh belas, dia bertemu seseorang yang hanya dituntut banyak sekali hal tanpa pernah dipedulikan. Menurut Leo juga, permasalahan di lingkup rumah memang tidak ada habisnya. Sebab sebenarnya, Leo pun bukan berasal dari orang tua yang tanpa cela. Meskipun demikian, bukan berarti itu tidak bisa dihindari.

Dibandingkan benci, mungkin Leo lebih tepat disebut iba. Menyedihkan sekali melihat dua orang yang saling menyakiti tinggal di satu atap yang sama, disibukkan oleh aksi saling menyalahkan, saling mendorong, tapi saling menarik juga. Kasihan sekali orang yang harus hidup seperti itu, pikirnya. Dan betapa kurang beruntungnya dia perlu hadir di antara keduanya, sahut pemikirannya yang lain.

Leo melekatkan bagian belakang tubuhnya pada kasur, berbaring terlentang, berhadapan dengan langit-langit. Diputarnya lagu Wonderwall milik Oasis keras-keras hingga kebaslah telinganya dari suara-suara lain di luar. Dia beres menyelesaikan kencan sekaligus hubungan dengan cewek nomor tiga setelah berkencan selama lima bulan. Leo jarang menjalani sesuatu yang serius dalam jangka waktu lama. Nyaris tidak pernah, malah. Seumur hidup, tanpa kenal henti dia berusaha mencari tahu bagaimana kiranya cara mencintai seseorang dengan tepat dan bagaimana pula cara mendapatkannya supaya dia bisa mencintai orang tuanya tanpa syarat, seperti apa yang manusia lain agungkan. Sayangnya, batin Leo selagi bergulir ke sisi kanan ranjangnya, dia lelah mencoba dan ingin melarikan diri saja.

Leo sedang menutup mata, meletakkan lengan bagian bawahnya di atas kening ketika pintu kamarnya mendadak terbuka tanpa diketuk terlebih dahulu. Akibat terkesiap, dia bangkit dalam posisi setengah duduk, beringsut menyandarkan punggung.

“Tugas Fisikanya sudah dikerjakan, Mas Le?” tanya sosok setengah bungkuk yang adalah ibunya. Gaun Norma, sang ibu, tampak menyapu lantai saking panjangnya. “Mami kayaknya sudah janji mau bantu kami bikin PR itu, ya.”

Tidak ada lagi Fisika. Dia tidak lagi mempelajari ilmu itu. Maka, ditangkupnya punggung tangan Norma. “Mami nggak usah khawatir. Udah Leo kerjakan, kok.”

Masalahnya, sulit sekali mencintai seseorang yang mulai melupakanmu.

Sementara itu, memangnya harus pindah berapa kali lagi sampai menemukan tempat yang tepat?

Arjuna Darius tengah menghitung menggunakan jari. Dia bolak-balik memuat ulang laman aplikasi mobile banking miliknya, berharap muncul angka nol tambahan sebagai digit terakhir supaya senyuman di bibirnya bisa mencapai dua senti lebih lebar. Baru saja kemarin dia mendapat upah dari hasil menumpang tampil bersama band temannya yang telah berjalan satu bulan terakhir. Selama waktu itu pula, Arjun berpindah tempat tinggal dari rumah ke rumah. Terkadang dia bisa menetap dua hari, ada pula yang membiarkannya menginap lima hari, kebanyakan hanya memperbolehkannya singgah sebentar, sedangkan mantan kakak kelas yang dia ikuti jejaknya memberi penawaran kepada Arjun untuk menghabiskan sisa liburan di apartemen miliknya.

Praktisnya, segala sesuatu di hidup Arjun bersifat kelewat sementara.

Lenguhan kasar melengos begitu saja dari mulutnya. Kalau diakumulasikan, sisa saldo yang mengendap di akunnya kemungkinan hanya cukup untuk membayar uang sewa bulan pertama indekosnya nanti. Belum lagi sejak hari Senin dia mandi menggunakan sabun cair yang telah dicampur dan dikocok bersama air sampai-sampai tidak lagi mengeluarkan busa. Dia memerlukan uang itu untuk sesuatu yang lain, namun tidak mungkin dia terus-terusan menumpang pada seseorang yang sama-sama menghidupi diri sendiri. Rasa-rasanya Arjun bakal jadi orang paling tidak tahu diri kalau begitu caranya.

“Nggak usah pindah kali, Jun.” Baru saja dibatin, Jayden muncul dari arah dapur sambil membawa dua gelas teh jahe sebab Arjun belakangan ini terlalu memforsir dirinya untuk menyanyi sampai-sampai suaranya sulit keluar bahkan ketika berbincang ringan sekalipun.

“Harus begitu,” jawabnya, susah payah.

“Maaf, nih, gue ngomong lagi.” Diseruputnya teh dengan asap mengepul itu. “Barang lo dikit banget. Perasaan waktu keluar asrama lo bawa dua koper deh.”

Aing jual, Kang. Dititipin ke temen.” Dengusannya kali ini membuat pasokan udara di paru-parunya nyaris kering kerontang. Dengan suara seraknya, dia berkata, “Nanti kalau udah balik duitnya, aing pasti ganti uang ke Kang Jay buat biaya selama tinggal di sini.”

Arjun tidak ingat tepatnya sudah berapa kali terulang, tapi Jayden selalu menegaskan kepadanya untuk tidak memikirkan biaya sewa. Sayangnya, bukan itu keyakinan yang Arjun pegang. Meskipun bisa saja kebaikan Jayden tercipta tanpa pamrih, jadi pihak yang terus-terusan menerima tanpa memiliki kemampuan mengembalikan benar-benar menyesakkan. Arjun berandai-andai, apakah indekos yang bakal ditinggalinya nanti akan bersifat sementara juga? Apakah dia bisa menetap lebih lama di sana? Kalau pun dia ditakdirkan untuk pindah kembali, apakah akan ada seseorang yang mencegahnya untuk pindah? Semisal dicegah, apakah dia bakal memiliki alasan untuk tidak pergi?

Entahlah. Arjun asing dengan sesuatu yang pasti.

Dan, memangnya siapa yang mengharuskan untuk meninggalkan?

Ketika pertanyaan itu menyergapnya, Yasa Cygnus Pradipta tidak menyiapkan jawaban apa pun selain: mau mencoba hidup mandiri. Tidak sekali pun terlintas di pikirannya bahwa sang ayah, Pradipta, mendapatkan ide untuk bertanya demikian. Pasalnya, sudah lama sekali sejak terakhir kali seseorang peduli terhadap keputusan yang dibuatnya. Karena tidak mampu memberikan balasan yang menjual dan tidak mengarah pada pertanyaan lainnya, Yasa berusaha menelan daging yang entah kenapa seakan menyangkut di kerongkongannya.

“Padahal Tante Winda nggak lama lagi bakal tinggal sama kita.”

Dia tersedak. Dia terbatuk. Dia hampir memuntahkan gumpalan yang sudah setengah jalan. Yasa memukul dadanya pelan. Setelah dirasa turun sepenuhnya, diambilnya gelas dan diteguknya air beberapa kali. Winda sempat menawarkan bantuan untuk menepuk-nepuk punggungnya, tapi Yasa menolak dengan ungkapan sehalus mungkin.

“Maaf, ya, Yasa. Mungkin kabar itu cukup mengejutkan buat kamu,” tutur wanita yang jika Yasa perhatikan selalu menjaga kukunya tetap pendek. Dia bekerja sebagai dokter spesialis mata di salah satu rumah sakit ternama. Penampilan Winda menjelaskan segalanya. Yasa bisa langsung tahu sejak pertemuan pertama mereka beberapa tahun silam. Winda meremas tangan Pradipta untuk menghilangkan rasa gugupnya. “Kami sudah melangsungkan pernikahan sejak pertengahan tahun dan terkesan tidak wajar kalau harus tinggal terpisah. Tante harap, Yasa bisa menerima Tante dengan baik, ya.”

Raut Yasa tidak menunjukkan begitu. Maksudnya, dia tidak tampak terkejut. Sedikit pun tidak. Respon tersedak barusan mungkin tampak meyakinkan. Namun, dia batuk-batuk bukan karena menganggap ucapan itu luar biasa mengagetkan. Yasa sudah menerka-nerka kalau hal itu bakal terjadi cepat atau lambat. Tinggal menunggu hari, pikirnya. Dia hanya tidak siap. Tidak akan siap malah. Sebab itulah dia berencana untuk meninggalkan rumah.

Karena bangunan yang sejak awal telah mengalami banyak perubahan itu tidak akan pernah sama lagi, terlebih dengan Winda di dalamnya.

Lantas, memangnya ini pindah, meninggalkan atau melarikan diri?

Dery sedang menekan-nekan tuts putih pada piano tiga kaki dengan suara yang tidak mampu didengarnya. Ketika dia mendaratkan telinga kanan, menumpukan berat kepalanya pada piano itu, menyeruaklah nada sumbang tidak beraturan. Di hadapannya, terhampar dinding kaca dengan pemandangan mengarah ke taman luas. Jika seseorang berdiri di sana, berkat cerahnya langit malam ini, pasti siapa pun kesulitan menghitung jumlah bintang yang tertangkap mata saking banyaknya. Tapi, kenapa? Setiap Dery menyelisik langit itu, kenapa yang dilihatnya cuma ruang hampa, gelap dan tidak berkilauan?

Ditekannya asal tuts itu. Ditekannya lagi. Ditekannya terus sampai terdengar suara bising berulang dan monoton yang kian memekakan telinga. Ketika berhenti, Dery bisa merasakan tangan kirinya bergetar hebat. Luar biasa terguncang sampai-sampai dia ketakutan. Dulu tidak seperti ini, batinnya. Tidak peduli seberapa frustrasinya Dery menekan tuts, dia tidak pernah menangkap nada sumbang. Tidak peduli pula seberapa lama dia menghabiskan waktu untuk mengamati langit mendung sekalipun, dia selalu merasa bisa menemukan gemerlap samar di antaranya. Dunianya sudah lama gelap. Sementara dulu tidak seperti itu.

Terkait pindah, meninggalkan atau melarikan diri, Dery rasa dia melakukan ketiganya.

— el.

--

--

el.
el.

No responses yet